Rabu, 16 April 2008

Suasana Rapat LSM Kapas Kanopi Tebo (Serius amat sich broo.........)


Mr. Jhon dari FLEG-T saat memberikan materi mengenai tata kelola hutan yang baik

Direktur LSM Kapas Kanopi Aktif Pada Lokakarya Tata Kelola Hutan Yang Baik Untuk Kab. Tebo, Batanghari dan Tanjabbar

LSM Kapas Kanopi, Kutuk PP No 2 Tahun 2008

MUARATEBO-Hanya dua bulan seusai menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim dan di tengah rentetan bencana ekologis, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa sangat murah. Alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung itu hanya dikenai tarif Rp 1,2 juta per hektar per tahun hingga Rp 3 juta per hektar per tahun, atau Rp 120 per meter hingga Rp 300 per meter.
Butir-butir peraturan pemerintah itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Februari dengan nama Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
”Kebijakan menyewakan hutan begitu murah itu sangat sembrono,” Ujar Wahyudhi Direktur Eksekutif LSM Kapas Kanopi Tebo sebuah NGO yang intens bergerak dibidang lingkungan kemarin.
Menurut Wahyudhi, PP tersebut cacat hukum karena aturan ini hanya memuat tentang tarif, bukan izin pembabatan hutan lindung.
”Kalau PP ini dipakai untuk membabat hutan, jelas bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung. UU yang menyebutkan hanya 14 perusahaan yang boleh menambang di hutan lindung,” kata lelaki yang biasa disapa Yudi.
Namun, lanjutnya, DKN belum menentukan sikap apakah akan meminta pencabutan atau revisi peraturan pemerintah tersebut. ”Kami masih perlu membahas lebih jauh,” katanya.
Selain cacat hukum, kata yudi, peraturan tersebut tidak komprehensif. Contohnya, PP tidak mengatur subyek pemilik hak atas kayu komersial yang ada di dalam hutan. PP juga tidak mematok tarif alias Rp 0 (nol) atas penggunaan hutan bersifat nonkomersial (Pasal 4).
”Sifat nonkomersial bukan berarti meniadakan risiko atau dampak negatif terhadap hutan lindung atau produksi, bukan tidak mungkin kawasan TNBD dan TNBT di Tebo ini akan digusur dan dieksplorasi oleh perusahaan penambang jika didalamnya terdapat kandungan batu bara ataupun barang tambang lainnya” ujarnya.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan dan Organisasi Kepemudaan yang cinta alam juga mengungkapkan keprihatinannya mengenai alasan pemerintah mengeluarkan PP itu. Mereka yakni dari PC GP Ansor Tebo, PC PMII, PC HMI, Komunitas Pelestari Alam Sigombak (Kompas), Ikatan Pemuda VII Koto dan BEM STIT Tebo mereka tergabung dalam Komunitas Pelestari Lingkungan (Kopel) Tebo.
”Sangat aneh dan tak masuk akal ketika hutan lindung yang tak ternilai harganya ternyata dihargai lebih murah dari sepotong pisang goreng, kami prihatin dengan kondisi tersebut yang juga mengancam kelestarian TNBD, TNBT dan kawasan Hutan Produksi di Tebo itu” ujar Oktaviandi salah satu anggota Kopel kemarin.
Andi juga mengatakan, Harga sewa Rp 120 per meter pun tak rasional karena tertutupi dengan harga pohon di atasnya jika ditebang dan kayunya dijual.
Sementara Ardan dari Komunitas Pelestari Alam Sigombak menyebutkan, keputusan pemerintah tersebut menghina akal sehat dan sama sekali tak dapat dipahami. Keluarnya PP dinilai memperjelas posisi pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak memihak keselamatan warga dan pelestarian lingkungan.
Ardan juga mengatakan, data dari Sawit Watch, laju kerusakan hutan sepanjang tahun 2005-2006 mencapai 2,76 juta hektar. Ribuan orang meninggal dan lainnya menjadi pengungsi karena bencana lingkungan yang disebabkan oleh kerusakan di bagian hulu, seperti banjir dan tanah longsor.
“Bayangkan apa yang akan terjadi di kawasan hilir akibat PP itu. Namun, tampaknya pemerintah kurang peduli dan lebih mengejar pendapatan finansial,” kata Ardan
Masih menurut Andi, dari data yang disampaikan Walhi Indonesia, bahwa peraturan pemerintah itu akan berimplikasi langsung pada pembukaan sekitar 160 lokasi baru pertambangan di kawasan hutan pada 26 provinsi.
”Sekitar itulah jumlah konsesi pertambangan yang menunggu untuk beroperasi di atas kawasan hutan,” ujarnya.
Dampak lain, sektor lain seperti perkebunan akan meminta hak yang sama, yakni lahan hutan untuk bisnis yang disewakan sangat murah, dan saat ini sedikitnya 158 perusahaan tambang di Indonesia bakal diuntungkan dengan terbitnya PP tersebut (uka)
////Tarif Sewa Hutan Berdasarkan Jenis PNBP
1. Penggunaan kawasan hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara horizontal (tambang terbuka horizontal)
a. hutan lindung Ha /tahun Rp 3.000.000,00
b. hutan produksi Ha /tahun Rp 2.400.000,00
2. Penggunaan kawasan hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara vertikal
a. hutan lindung Ha /tahun Rp 2.250.000,00
b. hutan produksi Ha /tahun Rp 1.800.000,00
3. Penggunaan kawasan hutan untuk tambang bawah tanah
a. hutan lindung Ha /tahun Rp 2.250.000,00
b. hutan produksi Ha /tahun Rp 1.800.000,00
4. Penggunaan kawasan hutan untuk migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol
a. hutan lindung Ha /tahun Rp 1.500.000,00
b. hutan produksi Ha /tahun Rp 1.200.000,00
///Sumber data tariff sewa hutan dari : www.dephut.go.id

Diksar I Kelompok Pecinta Alam Kanopi